Kolom Jumat: Marhaban, Ya Perubahan
Published: 9th, July 2021
Author: Anindito Wiryawan

Image Source: Anindito Wiryawan
Perubahan adalah kepastian. Ia tak terhindarkan karena laju waktu dan pergantian zaman. Ia tak bisa dielakkan, harus diterima dengan kedua belah tangan. Bukankah setiap orang ada zamannya dan setiap zaman ada orangnya pula? Jadi, tak mungkin seseorang relevan untuk setiap zaman.
Awal Juli lalu, perubahan itu terjadi di Säbener Strasse, markas Bayern München. Memasuki musim baru, Die Roten bukan hanya punya pelatih baru dalam diri Julian Nagelsmann, melainkan juga CEO baru pada sosok Oliver Kahn.
Meskipun hanya dua posisi, perubahan iyang terjadi tidaklah kecil. Bisa dikatakan, Bayern tengah merintis era baru dengan dua perubahan itu. Kahn, sang “putra mahkota” memastikan tak ada lagi “gajah” di Säbener Strasse. Karl-Heinz Rummenigge, sang “gajah” terakhir, pada akhirnya pergi seperti halnya Franz Beckenbauer dan Uli Hoeneß.
Kiranya tak dapat dimungkiri bahwa trio “gajah” Beckenbauer-Hoeneß-Rummenigge punya jasa besar membawa Bayern hingga menjadi seperti saat ini. Bisa dipahami bila ada yang gamang. Bagaimana Bayern ke depan? Apalagi perubahan justru terjadi di tengah pandemi yang belum usai.
Akan tetapi, perubahan memang akan dan harus terjadi. Jika bukan sekarang, ya esok atau suatu saat nanti. Bayern tanpa “gajah” adalah keniscayaan dan itu diakselerasi oleh putusan Rummenigge mengambil pensiun lebih cepat 6 bulan dari rencana awal.
Putusan Rummenigge haruslah disyukuri. Betapa pun hebatnya dia sebagai CEO, tantangan ke depan sangatlah berbeda dengan zamannya. Dinamika sepak bola sebagai bisnis sudah begitu luar biasa dan orang-orang generasinya akan segera ketinggalan zaman.
Rummenigge pun tentu tak gegabah mempercepat akhir masa baktinya. Kahn sudah “magang” selama beberapa bulan untuk mengetahui segala seluk-beluk di manajemen Bayern. Bila tak yakin pada kapasitas dan kemampuan eks kapten Bayern itu, tidak mungkin dia mengambil langkah tersebut.
Bagi para “gajah”, Bayern bukan hanya rumah kedua atau sekadar tempat mengabdi dan mencari makan. Bagi mereka, Bayern sudah seperti anak sendiri. Mereka tak akan rela melihat ia celaka atau bahkan tega mencelakainya. Mereka akan tetap sayang meski jarak sudah jauh merenggang.
***
Perubahan pada hakikatnya adalah pembawa harapan. If there’s no change, there’s no hope. Dan dengan harapan pula kita bisa hidup dan menjalani kehidupan. Di dunia ini, semuanya gelap bagi sesiapa yang sudah tak punya lagi asa. Tanpa asa, manusia sesungguhnya sudah binasa.
Tentu saja, perubahan tidaklah menjamin perbaikan dan kemajuan. Ia juga menghadirkan kegamangan karena merusak zona nyaman. Tak sedikit pula perubahan yang justru berujung kemunduran. Makanya, perubahan harus disertai kecermatan, tidak serampangan.
Di Bayern, sepertinya perubahan yang dilakukan pada awal Juli lalu sudahlah matang. Kahn dan Nagelsmann adalah figur yang bukan abal-abal. Keduanya adalah sosok masa kini yang tahu tantangan sekarang dan masa depan.
Meskipun demikian, tentu saja mereka harus penuh kehati-hatian. Terutama Nagelsmann yang akan disorot setiap pekan. Dia harus belajar dari pengalaman para pendahulunya. Paling mudah, tengoklah Jürgen Klinsmann dan Niko Kovac.
Dari Klinsmann, Nagelsmann bisa belajar bahwa seorang pelatih tak perlu melakukan revolusi pada semua hal, hingga pada tetek-bengek yang justru menimbulkan kegaduhan. Adapun dari Kovac, dia bisa belajar soal pentingnya menjaga harmoni di dalam tim.
Nagelsmann sudah menunjukkan kehati-hatian itu. Pada hari pertamanya, dia tak mengklaim Bayern akan bermain dengan pola 3 bek seperti yang dilakukannya di RB Leipzig. Dengan sederhana, dia mengatakan tak akan melakukan perubahan besar-besaran.
Ucapan Nagelsmann melegakan. Pasalnya, mengubah Bayern bermain dari 4-2-3-1 menjadi 3-4-3 bukan hal mudah. Selain materi skuat yang ada belum tentu sesuai dengan pakemnya, perubahan pola rawan membuat beberapa figur tersisih. Ini bisa jadi api dalam sekam seperti saat Kovac meminggirkan Thomas Müller.
Nagelsmann memang harus akomodatif pada musim pertamanya. Apalagi, dia dipastikan tak akan dapat meminta klub mendatangkan pemain-pemain yang akan sesuai dengan skemanya. Manajemen Bayern sudah berkali-kali menegaskan tak akan mengeluarkan banyak uang karena hantaman pandemi yang mengganggu neraca keuangan.
Dalam situasi dan kondisi saat ini, Nagelsmann harus realistis. Dia tak bisa mengedepankan idealisme dan egonya. Hal terpenting adalah membawa Bayern menang walaupun bukan dengan skema dan filosofinya. Bila kemudian sukses, barulah dia bisa lebih leluasa mewujudkan keinginannya.
Penulis Asep Ginanjar
Twitter (@SeppGinz)